Industri teknologi canggih alias hi-tech sulit berkembang di Indonesia.Salah siapa? Apakah memang ekosistem kita tidak menunjang untuk itu?

Dalam wikipedia, ekosistem didefinisikan sebagai ”Suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.”

Dalam dunia industri, ekosistem ditafsirkan sebagai suatu lingkungan yang mampu melengkapi dirinya sendiri,

Yang saya bayangkan untuk dunia properti, ekosistemnya mungkin terdiri atas developer, penyedia lahan, konsultan, arsitek, kontraktor, pekerja di sektor bangunan, vendor, dan konsumen, atau dunia musik yang terdiri atas industri rekaman, artis, pengarang lagu, dan komunitas fans, sementara untuk teknologi telekomunikasi, ekosistemnya terdiri atas operator, vendor perangkat, user, penyedia jasa tambahan, regulasi dan berbagai industri komponen yang mendukung industri perangkat.

Kelangsungan hidup suatu industri bisa dilihat dari ada tidaknya elemen-elemen dasar dari ekosistemnya. Boleh jadi salah satu elemennya tersedia dalam jumlah berlimpah ruah, tetapi elemen yang lain tidak ada, maka ekosistem tersebut akan sulit untuk dapat bertahan hidup.

pertanyaan saya sewaktu membandingkan pembangunan sektor properti ataupun musik yang berakhir relatif sukses dalam membangun ekosistem di dalam negeri, dengan pembangunan sektor hi-tech baik itu industri kedirgantaraan maupun industri elektronik dan telekomunikasi yang tidak berakhir dengan terlalu mulus. Kenapa?

ada perbedaan mendasar antara keduanya, yaitu :

  • Industri properti maupun musik dibangun dengan sebagian besar elemennya berasal dari dalam negeri, baik itu ahlinya, pelaksananya, pedagangnya maupun bahan bakunya , sementara industri hi-tech, sebagian elemen dasarnya berasal dari luar negeri, dan hanya sebagian ekspertis dan marketnya saja yang beasal dari dalam negeri. Contohnya baru saja saya baca di media, bahwa rumah susun sederhana bahannya bisa disediakan seluruhnya 100% dari dalam negeri, apalagi musik, sementara untuk teknologi telekomunikasi, kandungan lokalnya masih berada dalam kisaran dibawah 30% dan stagnan.

  • Industri properti diawali sewaktu Indonesia masih kaya dan ’merdeka’ untuk membuat government sponsored industry, sementara industri hi-tech muncul dalam masa krisis dengan banyak intervensi asing yang melarang atau membatasi keterlibatan government sebagai agent of development di bidang itu

  • Industri hi-tech khususnya elektronik muncul pada era dimana ekosistem hampir tidak dapat lagi dibatasi secara geografis yang menjadikan insentif untuk munculnya pemain lokal tidak feasible secara ekonomis.

Lahan Menggiurkan

saat ini, Indonesia menjadi lahan yang sangat menggiurkan bagi pemasaran produk-produk yang sebagian besar ekosistemnya berada diluar Indonesia. Haruskah kita bangga bahwa penetrasi telepon seluler kita sudah mencapai 40% sehingga kita tidak lagi digolongkan sebagai pariah didunia telekomunikasi? Atau haruskah kita sedih bahwa dari industri itu kita hanya berperan sebagai pemakai dan devisa kita yang terkait dengan sektor itu sebagian besar mengalir keluar? Bahwa kontribusi industri lokal hanya kurang dari 10%? Atau biasa-biasa saja?

Untuk kita yang peduli dan prihatin pada gejala suburnya ekosistem yang tidak berakar di Indonesia, dan ingin mengubah keadaan, mungkin hal yang berikut ini bisa direnungkan

  • Sektor riil untuk bidang hi-tech bukan sektor yang ’basah’, tetapi secara beramai-ramai kita dapat membuatnya menjadi basah, karena sebagaimana halnya dengan apapun yang terkait dengan industri, dimana disitu berlaku hukum economics of scale.

  • Kita harus tidak cukup merasa puas dengan jumlah orang dan jaringan. Jumlah ahli kita memang banyak, tetapi masih kurang banyak dan tersebar secara tak beraturan. Bagi anda yang pernah bersekolah di luar negeri, anda tidak pernah merasa kesepian dan kekurangan partner diskusi untuk membahas masalah pekerjaan anda down to detail. Begitu anda pulang ke Indonesia, seluruh network dan resources yang tadinya menjadi kekuatan anda tiba-tiba hilang, dan anda menjadi orang awam dan lama-lama ikut terperangkap di dalam budaya instan. Mungkin bagus untuk membandingkannya dengan strategi beberapa perusahaan di Korea ataupun Taiwan yang melakukan ’bedol desa’ terhadap ekspert mereka yang sedang bekerja di negara-negara maju untuk menjadikan ekosistem yang mampu hidup di tanah airnya sendiri. Mereka mempertahankan critical mass yang bisa menjaga seseorang tetap bertahan ditengah alam mereka yang baru.

  • Lawan terbesar dari cita-cita menghidupkan ekosistem di dalam negeri adalah budaya instan. Budaya instan adalah suatu mazhab, dan bukan sesuatu yang dapat dilawan secara individual, dia hanya bisa dilawan oleh komunitas, media, atau government.

Jadi dari mana kita mulai?

Kredit foto: weblogs.asp.net